Riska Kusuma Wardhani
I was looking for a warm, tomboyish set of outfit when I stumbled upon these beautiful pieces. I absolutely adore the knitted cardigan, the color is refreshing. One item missing from this set is a bag; originally I wanted to include a small, brown postman bag as a companion yet I couldn't find it on Polyvore at that time.

DESCRIPTIONS
Top 1: Kain Classic Washed Silk Tank - $55 - net-a-porter.com
Top 2: Rodarte Skinny Knit Cardigan - GBP1,809 (yeah I know, shocking) - farfetch.com
Bottom: Margit Brandt Pants Gaga - GBP80 - welikefashion.com
Shoes: Supra Skytop Shoe Black & White - $100 - suprafootwear.com
Accessories: Ursula Beanie - $55 - allsaints.com
Riska Kusuma Wardhani
How I really wish to have these items in my cupboard. Yes, I'm a sucker of pink-green combination!

Descriptions

Outerwear: Puff Sleeves Rose Pink Trench Coat - $63 - romwe.com
Bottom: SANDRO Bottle Green Corduroy Pants - $225 - stylebop.com
Bag: Yves Saint Lauren Muse Oversized Leather Tote Bag - $1,980 - forzieri.com
Shoes: Skor Fest & Pumps - GBP279 - nelly.com
Accessories 1: Ganni Thin Wool Scarf - GBP94 - youheshe.com
Accessories 2: TOM FORD Lydia Havana Oversize Sunglasses - GBP275 - jades24.com

Credits to polyvore.com for making this mix and match attempt possible!

P.S.: I'm soooo not gonna buy these things for real. The total price even surpasses my allowance in a year!

P.P.S.: Not to mention I'm quite chubby, not sure the outerwear and the bottom are gonna fit :p
Riska Kusuma Wardhani
Jadiiiii gue dengan bodoh telah nge-post sesuatu yang kontroversial pada tanggal 26 Oktober kemarin:

Jujur, waktu itu gue bikin post semacam ini karena gue udah gerah dan sebeeeeeel banget dengan tweets temen SMA gue (cewek) yang super over dan hyperbolic. Temen gue ini abis putus sama cowoknya selama dua tahun. The thing is, waktu pacaran dia tuh sering banget PDA sama cowoknya via social network dan bahkan BBM Messenger yang melebihi batas kewajaran. Maksudnya melebihi batas kewajaran di sini adalah contohnya dia pernah pasang foto dia ciuman bibir sama cowoknya di depan kamar mandi yang kayaknya terletak di sebuah kamar hotel. Pakaiannya juga yang model tanktop dan baju handuk begitu. I think that kind of photo should've been kept as a private thing between the two, tapi temen gue ini dengan santainya pasang foto kayak gitu jadi DP di BBM Messenger. Nah mungkin, setelah dia putus, selain dia merasa dicampakkan dia juga ngerasa malu banget karena selama ini udah pamer kemesraan di depan kita semua. Ujung-ujungnya, dari bulan September timeline Twitter dia dipenuhi dengan tweets seperti ini:

"Aku ga mau hidup lagi kalau ga ada kamu di sisiku. Ingin rasanya kuraih tali tambang di gudang dan kujeratkan di leherku."

"Mati kelaparan karenamu. Lidahku sudah tak bisa lagi merasa, makanan bagaikan sampah di mataku."

"Tuhan sungguh tidak adil. Kenapa semua orang bisa bahagia sedangkan aku tidak?"

"Kamu tahu hari ini aku memuntahkan semua makanan yang sudah masuk ke dalam mulutku? Pedulikah kamu?"

"Aku ingin mati. Mati. Mati. Mati. Mati."

"Aku ingin dilahirkan kembali di tempat di mana kamu tidak pernah ada. Tak peduli itu di lahan tandus tanpa air, karena aku pasti bisa lebih bahagia di sana."

Dan... masih banyak lagi.
(Sebenarnya dia ngetweet pake bahasa alay sodara-sodara, tapi karena gue males ngopi timeline
dia dan ga yakin juga kalian mau baca bahasa alay, jadi formatnya gue ubah dikit.)

Tweets dia ini, ujung-ujungnya digunakan buat menarik simpati temen-temennya buat nyalahin si mantan yang udah nyampakin dia. Padahal berdasarkan sumber terpercaya, mereka putus karena si mantan udah ga betah sama kelakuan temen gue ini yang doyan pamer kemesraan dan minta dibeliin ini itu mulu. Tapi kok yaaaa malah temen gue yang reaksinya berlebihan sampai bilang pengen mati dan rela aja muntahin makanan yang udah masuk ke mulut dia, menyia-nyiakan kenikmatan yang ga semua orang bisa dapatkan?

Nah, berhubung temen yang gue singgung ini bukan blogger, jadi gue santai-santai aja lah bikin post tentang dia di blog ini. Gaswatnya... gue jadi menyinggung orang yang salah aka Tia, yang kemudian nge-post begini ke blognya!

Matiiiiii. Mau dibilang cuma kebetulan dan ga berhubungan ga mungkin, soalnya kata-kata Tia bener-bener isinya menanggapin apa yang udah gue tulis sebelumnya. Padahal maksudnya gue mau nyinggung temen gue yang over itu bukan dia! Kalau udah begini bingung deh mau nangis atau ketawa.

Okee sekarang buat pelajaran, lain kali kalau gue mau bikin post menyinggung gue bakal njelasin sedetail-detailnya orang yang gue singgung itu siapa. Biar ga ada kesalahpahaman seperti ini yang ujung-ujungnya malah bikin hubungan kedua belah pihak, yang tidak sengaja menyinggung dan tidak sengaja tersinggung, jadi awkward haha. Gue sih ga ada masalah dengan orang yang sering curhat di Twitter, meskipun memang gue bukan orang yang suka curhat secara terbuka (personally I prefer talking to close confidants/friends and diverting my attention to other things to make me forget the people who hurt me). Syaratnya jangan sampai lebay maksimal aja kayak temen gue yang ujung-ujungnya seolah-olah menampakkan bahwa dia adalah makhluk paling menderita di dunia. Masih ada orang yang hidupnya lebih mengenaskan, both in term of primary needs and soul, di mana-mana. Hanya saja kita memang belum diberi kesempatan untuk bertemu mereka, berkenalan secara lebih dekat, untuk membuat kita bisa lebih bersyukur dengan kondisi yang ada sekarang (gue juga belum hehe).

Last but not least, maaf ya Tia! T-T

P.S.: Buat yang doyan curhat, coba deh kalian buka situs langkahkaki.com. Situs tersebut merupakan proyek dari Arif Abdillah, salah satu pembicara di TEDxJakarta: Journey to Return, yang berisi curhatan dari beberapa orang yang sudah dia kenal sebelumnya dan baru kenal. Siapa tahu ada pembaca yang mendapat pencerahan setelah membuka situs tersebut :D
Riska Kusuma Wardhani
It's finally dooooooone! *dance happily*

Hehe, yang udah baca postingan gue sebelumnya pasti inget dong kalau gue sempet bilang mau bikin proyek yang berhubungan dengan CV? Dan yak, proyek itu sudah berhasil diluncurkan pada tanggal 27 Oktober 2011. Kalian bisa liat proyek gue langsung di www.doctorofcv.blogspot.com.

Sebenernya gue rada 'merinding' sih waktu mau ngeluncurin proyek ini. Kenapa? Soalnya, berbeda dengan situs lain yang juga ngulas soal CV, gue lebih milih pake pendekatan 'koreksi CV orang yang salah' dulu. Dan kebetulan banget, perusahaan tempat gue magang baru aja kebanjiran CV hasil promosi di beberapa job fair. Nah CV yang salah ini berasal dari lautan CV tersebut. Yang gue lakukan di sini adalah gue scan CV itu ke komputer kantor, gue edit pakai Paint (bener, Paint sodara-sodara!) buat ngelindungin nama baik si empunya terus langsung deh gue post! Kayak begini legal ga yah? Secara buat perusahaan gue CV tersebut bukan dokumen confidential dan sepengetahuan gue juga selama ga ada perjanjian tertulis bin bermaterai yang menyatakan kalau kita ga boleh mbocorin isi CV tersebut, sharing ke umum sih oke-oke aja. Apalagi kalau tujuannya buat mendidik hehe. Tadinya gue bertekad buat ngepost beginian tiap hari, tapi ujung-ujungnya cuma bisa sekali dua kali dalam seminggu gara-gara partner magang gue resign. Gue terpaksa handle kerjaan yang buat dua orang sendirian nih, kadang jadi ga ada waktu buat bernafas *lebay*.

Anyway, proyek ini tadinya gue rilis dalam versi bahasa Inggris supaya pembaca internasional pada ngerti (dan siapa tau ada yang juga mau jadi kontributor!), tapi gara-gara belakangan ini gue jadi sering baca blog macam www.rantang.com.au dan www.muhammadnoer.com yang notabene pakai bahasa Indonesia yang baik dan benar, gue jadi galau. Galau apakah gue mesti nerusin ngepost pake bahasa Inggris atau bahasa Indonesia. What do you think?
Riska Kusuma Wardhani
Selain logat, ada satu hal lagi yang bikin gue ngerasa ga punya identitas: sikap dan tutur kata.

Tiga tahun yang lalu, sebelum gue hijrah ke Jakarta buat kuliah, gue anaknya bisa dibilang super innocent banget: rambut potong pendek berponi kayak helm, tampang kucel bin gampang ditipu, jaga jarak sama cowok, dan terkenal dengan gaya ngomong yang super alus. Iya, super alus. Dulu yang namanya meso atau ngejek orang dengan kata-kata kotor itu pantangan banget buat gue, bagian dari ajaran turun-temurun di keluarga. Gue juga terkenal dengan mental suka ngalah, rela ngerjain tugas paling banyak atau bahkan ibaratnya bagi makanan gue mau-mau aja dapet sisanya demi nyenengin hati orang lain. Singkat kata: pasif banget.

Nah, gue ga tau ntah ini karma atau anugerah: awal-awal masuk kuliah gue langsung sekelas sama empat orang yang kelakuannya super duper berlawanan dengan gue. Si Sharah, gorgeous girl dari Medan yang jaman SMA-nya masuk boarding school di Semarang; Jennifer, blatant girl yang ga ragu ngeluarin pendapatnya dan kalau cerita heboh banget; Safitri, anak Klaten yang gak Klaten (read: lebih kasar dari gue saat itu); dan Tia, anak Palembang yang fashion sense-nya bold banget (no offense, Tia! :D)

Dari keempat orang itu, gue ga nyangka gue malah ujungnya paling deket sama Tia. Padahal kalau dipikir-pikir menggunakan logika, gue harusnya bakal lebih deket sama Sharah (secara sekosan waktu itu) atau Safitri (sama-sama Jawa). Gue juga inget kalau pas awal-awal gue sering banget tengkar sama Tia, secara dia kadang ngomongnya rada ngejleb and lil bit selfish sementara gue terbiasa ngomong alus dan ngalah banget sama orang.

But yeah, it's true that opposites do attract. Gue lama-lama sadar kenapa gue bisa lebih deket sama Tia. Pertama, Sharah itu orangnya kayak burung: dia ga bisa dikekang dalam artian dijadiin temen deket atau sahabat. Kedua, Safitri orangnya terlalu secretive dan mbingungin sehingga gue kalau ngomong sama dia sering ga nyambung. Ketiga, Jeni rumahnya jauh banget dari tempat kos gue dan she already has her own world, lebih sering jalan bareng sama temen-temen jaman SMP-SMAnya dulu. Nah si Tia ini, selain sama-sama berstatus anak rantau dan kosannya deket waktu itu, dia sama kayak gue juga sering bokek (jadi kita sering gantian nraktir haha) dan bahasa Inggrisnya jago. Dari dia gue kenal yang namanya Senen, blog, dan berbagai hal yang tadinya asing buat gue. Thanks Tia, muah!! *cium cayang*

Selesai? Tunggu dulu. Nah gara-gara bergaul sama empat orang ini nih, perlahan gue yang tadinya pasif jadi mulai aktif. Doyan hunting barang-barang cewek kayak baju dan sepatu. Ngomong kotor pun bukan jadi hal tabu lagi, bahkan udah hampir jadi kebiasaan (babi dan bangke apalagi, anyone?). Ngomongin orang apa lagi, wooo udah jadi santapan sehari-hari. Kalau dilihat dari kacamata Jawa hal ini pasti salah banget, tapi entah kenapa gue malah ngerasa nyaman dengan semua ini. Gue ngerasa bebas, dan gue ngerasa punya lebih banyak teman dan jaringan dengan ini. Apalagi banyak orang yang menyalahartikan sikap pasif gue dengan cap "sombong dan tidak bisa bekerja sama". Haha padahal ya, kalau kalian kenal lebih dalem dikiiiit aja sama gue, pasti udah muncrat ke mana-mana tuh iler gue, tanpa henti nyerocos nyeritain berbagai hal dari A-Z.

Dari observasi gue pun, di mana-mana sekarang yang berjaya adalah orang yang berkelakuan seperti itu. Yang terbuka dan cepat akrab, bukan yang halus dan pasif aka submissive banget. Kenapa? Karena sekarang dunia kerja itu ya butuhnya orang yang bisa diandalkan, bisa ceplas-ceplos dan memberikan saran bukan seperti pembantu yang bisanya cuma mengerjakan perintah atasan. Kecuali ya kalau memang lo kerjanya di Jawa aja dan cuma berhubungan dengan orang-orang Jawa juga.

Dari situlah gue kadang-kadang bingung. Di satu sisi gue pengen banget bisa jadi orang yang lebih terbuka dan ceplas-ceplos, tapi di lain sisi gue masih takut dan ragu karena nyokap bokap dan teman lama gue terbiasa dengan diri gue yang alus dan biasa ngalah. Gue takut gue bakal kehilangan mereka, karena bagaimanapun juga mereka yang udah membantu mengantarkan gue sampai bisa di titik ini. Waktu reunian aja temen-temen lama gue sempat mencap gue awkward gara-gara perubahan yang drastis dalam sikap dan tutur kata gue. Hubungan gue dengan gebetan juga kandas karena dia nganggap gue berubah. Untungnya nyokap bokap gue masih mau menerima gue apa adanya. "Selama kamu masih ingat Papa Mama, Papa dan Mama ga akan komentar banyak soal perubahan diri kamu. Kamu sudah dewasa, bukan lagi anak kecil yang perlu Papa dan Mama atur-atur," yaaa kira-kira begitu lah tanggapan mereka waktu gue konsultasi soal perubahan sikap gue.

In the end, gue memutuskan buat lebih jujur sama diri gue. Biar aja gue dicap udah berubah blableblo, tapi kalau dengan bersikap kayak gitu gue ngerasa lebih nyaman, kenapa tidak? Yang jelas gue ga bakal pernah lupa kalau gue orang Jawa asli dan ga bakal nelantarin temen lama gue sebelum gue ditelantarin duluan. Dan ini yang bikin gue inget sama kata-kata dosen OB gue dulu, Pak Budiman yang kalau ngasih nilai sangat tidak budiman: "You're a conformist Riska, but you also have radical thoughts. If you keep 'hiding', you'll suffer more. Try to be free."

Yes Sir
, pasti gue terapin. Sekarang gue bakal memperluas pergaulan dan ngilangin urat jaim dulu. Help me to be more transparent guys! :D
Riska Kusuma Wardhani
Belakangan ini gue yang memang doyan minder kembali down lagi gara-gara yang namanya krisis identitas. Eits, jangan berpikir jauh sampai yang ke level kebangsaan ya. Gue dengan bangga masih bisa bilang kalau gue 100% orang dan bangsa Indonesia asli, dialirin darah Jawa dari nyokap dan Madura dari bokap.

Nah masalah kedaerahan ini yang bikin gue bingung. Sebelum gue kuliah di Jakarta, sudah 15 tahunan gue tinggal di Jawa Timur: 3 tahun di Madiun dan 12 tahun di Malang. Segemerlap, sekeren, dan selengkap apapun Jakarta, ntah kenapa sampai sekarang yang namanya Jawa Timur ini masih melekat banget di benak gue.

Selayaknya orang Jawa pada umumnya, gue bisa dong ngomong Jawa. Meskipun Jawa yang gue bilang di sini adalah Jawa malangan-suroboyoan ya, as in yang sering dihiasi kata-kata "juanc*k" dan sebagainya. Beda banget sama Jawa alus-nya orang Klaten atau Yogya. Dan sudah bukan rahasia umum lagi kalau yang namanya orang Jawa ini terkenal dengan kemedokan dan 'kealusan' tingkah lakunya.

Sedihnya, gue ga medok. Orang kalau ngomong sama gue pasti kaget banget begitu tau gue ternyata berasal dari Jawa Timur. "Lo ga medok, Ris." "Masa sih lo orang Jawa? Logat lo udah mirip kayak orang Betawi nih." Begitu mereka sering bilang. Bapak kos gue bahkan sempet ngira gue ini orang Medan!! Watdehel!! Gue ga tau mesti bangga atau ngerasa terhina. Ya bangga soalnya temen-temen gue ga bakal ngetawain gaya bicara gue (secara ga medok) dan juga sebagai bukti kalau proses integrasi dan asimilasi (apa sih) gue sukses besar; tapi juga terhina soalnya gue berasa bukan jadi orang Jawa, berasa ga punya kampung. Di tempat kerjaan gue yang baru juga bos gue, orang Surabaya yang udah kerja lebih dari 20 tahun di Kalimantan dan Jakarta, bahkan ngomongnya masih medok!! Sebenernya apa sih yang bikin gue ga punya logat? T-T *beneran nanya*

Sempet terpikir, apa itu gara-gara nyokap bokap gue membiasakan gue dan adik gue buat ngomong dengan bahasa Indonesia instead of Jawa ya di rumah? Bukannya bermaksud buat sok nasionalis atau sok lupa daratan ya dengan ngambil langkah tersebut, tapi itu karena nyokap gue ga mau gue ngadopsi bahasa bokap gue yang rada kasar (Madura euy!) dan karena nyokap gue sendiri ga bisa bahasa Jawa normal (FYI nyokap gue orang Bondowoso-Banyuwangi, beliau belajarnya bahasa Osing bukan Jawa). Gue inget banget waktu kecil jaman SD SMP gue sering maen ke rumah tetangga gue, Pakdhe Yono, cuma buat minta tolong bantuin ngerjain PR Bahasa Daerah. Tapi ya tetep aja, di sekolah dan sama temen sepermainan gue masih ngomong pake bahasa Jawa malangan-suroboyoan sepenuh hati. Masa iya sih gara-gara gue di rumah ga ngomong Jawa sekarang gue jadi kehilangan logat begitu?

Next, baca Krisis Identitas Part 2